Skip to main content

Demam Tifoid / Tipes / Penyakit Digestive

Demam tifoid / tipes banyak ditemukan di masyarakat perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di Indonesia bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, tersangka demam tifoid / tipes menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka kematian antara 0.6–5% (KMK, 2006). Selain tingkat insiden yang tinggi, demam tifoid / tipes terkait dengan berbagai aspek permasalahan lain, misalnya: akurasi diagnosis, resistensi antibiotik dan masih rendahnya cakupan vaksinasi demam tifoid.

Masalah Kesehatan
Demam Tifoid / Tipes
No ICPC-2 : D70 Gastrointestinal infection 
No ICD-10 : A01.0 Typhoid fever
Tingkat Kemampuan : 4A

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
  1. Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu kedua.
  2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal
  3. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah
  4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia
  5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.
Faktor Risiko
  1. Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.
  2. Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.
  3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
  4. Adanya outbreak demam tifoid / tipes di sekitar tempat tinggal sehari-hari.
  5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
  6. Kondisi imunodefisiensi.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik 
  1. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat.
  2. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang ringan, seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau koma)
  3. Demam, suhu > 37,5oC.
  4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8 denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
  5. Ikterus
  6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis
  7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali
  8. Delirium pada kasus yang berat
 Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
  1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).
  2. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
  3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen
Pemeriksaan Penunjang:
Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis
Dapat menunjukkan: leukopenia / leukositosis / jumlah leukosit normal, limfositosis relatif, monositosis, trombositopenia (biasanya ringan), anemia.

Serologi
IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex-TF)® 
  • Hanya dapat mendeteksi antibody IgM Salmonella typhi  Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
Enzyme Immunoassay test (Typhidot®)
  • Dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi
  • Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
Tes Widal tidak direkomendasi
  • Dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari.
  • Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5 – 7 hari.
Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi jika hanya dari 1 kali pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang dapat mengakibatkan over-diagnosis dan over-treatment. 

Kultur Salmonella typhi (gold standard)
Dapat dilakukan pada spesimen: 
  • Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam tinggi 
  • Feses : Pada minggu kedua sakit 
  • Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit 
  • Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carrier typhoid
Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis 
misalnya: SGOT/SGPT, kadar lipase dan amilase

Penegakan Diagnosis (Assessment)
Suspek demam tifoid (Suspect case)

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid / tipes hanya dibuat pada pelayanan kesehatan primer.
Demam tifoid klinis (Probable case)
Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid.
Diagnosis Banding
Demam berdarah dengue, Malaria, Leptospirosis, infeksi saluran kemih, Hepatitis A, sepsis, Tuberkulosis milier, endokarditis infektif, demam rematik akut, abses dalam, demam yang berhubungan dengan infeksi HIV.
Komplikasi
Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi antara lain perdarahan, perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan infeksi organ lain.
  1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati). Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delirium sampai koma.
  2. Syok septik. Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia yang berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti tekanan darah turun, nadi halus dan cepat, keringat dingin dan akral dingin.
  3. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis). Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga diketahui dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas dalam rongga perut.
  4. Hepatitis tifosa. Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati.
  5. Pankreatitis tifosa. Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan amilase. Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau CT Scan.
  6. Pneumonia. Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto polos toraks
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan

1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:
  • Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasib. 
  • Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral. 
  • Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah serat.
  • Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
  • Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran), kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien
2. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi keluhan gastrointestinal.
3. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), atau Trimetroprim-sulfametoxazole (Kotrimoksazol).
4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim, Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).

Kloramfenikol
Dewasa: 4x500 mg selama 10 hari
Anak 100 mg/kgBB/har, per oral atau intravena, dibagi 4 dosis, selama 10-14 hari
Merupakan obat yang sering digunakan dan telah lama dikenal efektif untuk tifoid
Murah dan dapat diberikan peroral serta sensitivitas masih tinggi
Pemberian PO/IV
Tidak diberikan bila lekosit <2000/mm3 

Seftriakson
Dewasa: 2-4gr/hari selama 3-5 hari
Anak: 80 mg/kgBB/hari, IM atau IV, dosis tunggal selama 5 hari
Cepat menurunkan suhu, lama pemberian pendek dan dapat dosis tunggal serta cukup aman untuk anak.
Pemberian PO/IV
Ampisilin & Amoksisilin
Dewasa: (1.5-2) gr/hr selama 7-10 hari
Anak: 100 mg/kgbb/hari per oral atau intravena, dibagi 3 dosis, selama 10 hari.
Aman untuk penderita hamil
Sering dikombinasi dengan kloramfenikol pada pasien kritis
Tidak mahal
Pemberian PO/IV

Kotrimoksazole (TMP-SMX)
Dewasa: 2x(160-800) selama 7-10 hari
Anak: Kotrimoksazol 4-6 mg/kgBB/hari, per oral, dibagi 2 dosis, selama 10 hari.
Tidak mahal
Pemberian per oral
Kuinolon
Ciprofloxacin 2x500 mg selama 1 minggu
Ofloxacin 2x(200-400) selama 1 minggu
Pefloxacin dan Fleroxacin lebih cepat menurunkan suhu
Efektif mencegah relaps dan kanker
Pemberian peroral
Pemberian pada anak tidak dianjurkan karena efek samping pada pertumbuhan tulang
Sefiksim
Anak: 20 mg/kgBB/hari, per oral, dibagi menjadi 2 dosis, selama 10 hari
Aman untuk anak
Efektif
Pemberian per oral
Thiamfenikol
Dewasa: 4x500 mg/hari
Anak: 50 mg/kgbb/hari selama 5-7 hari bebas panas
Dapat dipakai untuk anak dan dewasa
Dilaporkan cukup sensitif pada beberapa daerah

Rencana Tindak Lanjut 
  1. Bila pasien dirawat di rumah, dokter atau perawat dapat melakukan kunjungan follow up setiap hari setelah dimulainya tatalaksana. 
  2. Respon klinis terhadap antibiotik dinilai setelah penggunaannya selama 1 minggu. 
Indikasi Perawatan di Rumah 
1. Persyaratan untuk pasien 
  • Gejala klinis ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi atau komorbid yang membahayakan. 
  • Kesadaran baik. 
  • Dapat makan serta minum dengan baik. 
  • Keluarga cukup mengerti cara-cara merawat dan tanda-tanda bahaya yang akan timbul dari tifoid.
  • Rumah tangga pasien memiliki dan melaksanakan sistem pembuangan eksreta (feses, urin, cairan muntah) yang memenuhi persyaratan kesehatan. 
  • Keluarga pasien mampu menjalani rencana tatalaksana dengan baik. 
2. Persyaratan untuk tenaga kesehatan 
  • Adanya 1 dokter dan perawat tetap yang bertanggung jawab penuh terhadap tatalaksana pasien. 
  • Dokter mengkonfirmasi bahwa penderita tidak memiliki tanda-tanda yang berpotensi menimbulkan komplikasi.
  • Semua kegiatan tata laksana (diet, cairan, bed rest, pengobatan) dapat dilaksanakan secara baik di rumah. 
  • Dokter dan/atau perawat mem-follow up pasien setiap hari.
  • Dokter dan/atau perawat dapat berkomunikasi secara lancar dengan keluarga pasien di sepanjang masa tatalaksana.
Konseling dan Edukasi
  1. Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam tifoid yang harus diketahui pasien dan keluarganya.
  2. Diet, jumlah cairan yang dibutuhkan, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya diperhatikan atau dilihat langsung oleh dokter, dan keluarga pasien telah memahami serta mampu melaksanakan.
  3. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan keluarga supaya bisa segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan.

Pendekatan Community Oriented
Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat tentang aspek pencegahan dan pengendalian demam tifoid, melalui:
1. Perbaikan sanitasi lingkungan
2. Peningkatan higiene makanan dan minuman
3. Peningkatan higiene perorangan
4. Pencegahan dengan imunisasi

Kriteria Rujukan 
  1. Demam tifoid dengan keadaan umum yang berat (toxic typhoid). 
  2. Tifoid dengan komplikasi.
  3. Tifoid dengan komorbid yang berat.
  4. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.
Peralatan
Poliklinik set dan peralatan laboratorium untuk melakukan pemeriksaan darah rutin dan serologi.

Prognosis
Prognosis adalah bonam, namun ad sanationam dubia ad bonam, karena penyakit dapat terjadi berulang.

Referensi

  1. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, t.thn.)
  2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
  3. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al., 2004)
  4. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003)
  5. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004)
  6. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB Saunders: Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)
  7. CDC. Typhoid fever. 2005. www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.htm (Center for Disease and Control, 2005)
  8. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al., 2003)
  9. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)
  10. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood culture and Widal test in the early diagnosis of typhoid fever in children in a resource poor setting. Braz J Infect Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
  11. Summaries of infectious diseases. Dalam: Red Book Online 2009. Section 3. http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3.117 (Anon., 2009)

Popular posts from this blog

Vulnus / Muskuloskeletal

Kulit merupakan bagian tubuh yang paling luar yang berguna melindungi diri dari trauma luar serta masuknya benda asing. Apabila kulit terkena trauma, maka dapat menyebabkan luka/vulnus. Luka tersebut dapat merusak jaringan, sehingga terganggunya fungsi tubuh serta dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan, dapat ditimbulkan oleh berbagai macam akibat yaitu trauma, meliputi luka robek (laserasi), luka akibat gesekan (abrasi), luka akibat tarikan (avulsi), luka tembus (penetrasi), gigitan, luka bakar, dan pembedahan. Masalah Kesehatan Vulnus No. ICPC-2 : S.16 Bruise / Contusion S.17 Abration / Scratch / Blister S.18 Laceration / Cut No. ICD-10 : T14.1 Open wound of unspecified body region Tingkat Kemampuan: a. Vulnus laceratum, punctum : 4A b. Vulnus perforatum, penetratum : 3B Etiologi  Berdasarkan mekanisme trauma, terdiri dari : Trauma tajam yang menimbulkan luka terbuka, misalnya : 1. Vulnus Punctum (Luka Tusuk)  Pen...

Reaksi Gigitan Serangga / Penyakit Kulit / Insect Bite

Reaksi gigitan serangga (insect bite reaction) adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi pada kulit akibat gigitan (bukan terhadap sengatan/stings) dan kontak dengan serangga. Gigitan hewan serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat, bugs, dan kutu, yang dapat menimbulkan reaksi peradangan yang bersifat lokal sampai sistemik. Masalah Kesehatan Reaksi Gigitan Serangga No. ICPC-2 : S12 Insect bite/sting No. ICD-10 : T63.4 Venom of other arthropods Tingkat Kemampuan : 4A Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan gatal, rasa tidak nyaman, nyeri, kemerahan, nyeri tekan, hangat atau bengkak pada daerah tubuh yang digigit, umumnya tidak tertutup pakaian. Kebanyakan penderita datang sesaat setelah merasa digigit serangga, namun ada pula yang datang dengan delayed reaction, misalnya 10-14 hari setelah gigitan berlangsung. Keluhan kadang-kadang diikuti dengan reaksi sistemik gatal seluruh tubuh, urtikaria, dan angioedema, serta dapat berkembang me...

Syok hipovolemik, obstruktif, kardiogenik dan distributif

Syok merupakan salah satu sindroma kegawatan yang memerlukan penanganan intensif dan agresif. Syok adalah suatu sindroma multifaktorial yang menuju hipoperfusi jaringan lokal atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel dan disfungsi multipel organ. Kegagalan perfusi jaringan dan hantaran nutrisi dan oksigen sistemik yang tidak adekuat tak mampu memenuhi kebutuhan metabolisme sel.  Karakteristik kondisi ini, yaitu:  ketergantungan suplai oksigen,  kekurangan oksigen,  Asidosis jaringan sehingga terjadi metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi organ vital dan kematian.  Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, penyebab dan karakteristik pola hemodinamik yang ditimbulkan, yaitu:  Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh hilangnya sirkulasi volume intravaskuler sebesar >20-25% sebagai akibat dari perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan cairan pada ruang ketiga atau akibat sekunder dilata...

Veruka Vulgaris / Kutil / Penyakit Kulit

Kutil / Veruka vulgaris merupakan hiperplasia epidermis yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu. Sinonim penyakit ini adalah kutil atau common wart. Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Veruka ini sering dijumpai pada anak-anak dan remaja. Masalah Kesehatan Veruka Vulgaris No. ICPC-2 : S03 Warts No. ICD-10 : B07 Viral warts Tingkat Kemampuan : 4A Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Adanya kutil pada kulit dan mukosa. Faktor Risiko 1. Biasanya terjadi pada anak-anak dan orang dewasa sehat. 2. Pekerjaan yang berhubungan dengan daging mentah. 3. Imunodefisiensi. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda Patognomonis Papul berwarna kulit sampai keabuan dengan permukaan verukosa. Papul ini dapat dijumpai pada kulit, mukosa dan kuku. Apabila permukaannya rata, disebut dengan veruka Plana. Dengan goresan dapat timbul autoinokulasi sepanjang goresan (fenomena Koebn...

Benda asing di mata / Konjungtiva / Penyakit Mata

Benda asing di konjungtiva adalah benda yang dalam keadaan normal tidak dijumpai di konjungtiva dan dapat menyebabkan iritasi jaringan. Pada umumnya kelainan ini bersifat ringan, namun pada beberapa keadaan dapat berakibat serius terutama pada benda asing yang bersifat asam atau basa dan bila timbul infeksi sekunder. Masalah Kesehatan Benda asing di konjungtiva No. ICPC-2 : F76 Foreign body in eye No. ICD-10 : T15.9 Foreign body on external eye, part unspecified Tingkat Kemampuan : 4A Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk ke dalam konjungtiva atau matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, mata merah dan berair, sensasi benda asing, dan fotofobia. Faktor Risiko Pekerja di bidang industri yang tidak memakai kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa). Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) ...