Skip to main content

Tetanus / Penyakit Saraf / Neurologi

Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin. Penyakit ini ditandai dengan spasme tonik persisten, disertai serangan yang jelas dan keras. Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanospasmin menghambat neurotransmiter GABA dan glisin, sehingga tidak terjadi hambatan aktivitas refleks otot. Spasme otot dapat terjadi lokal (disekitar infeksi), sefalik (mengenai otot-otot cranial), atau umum atau generalisata (mengenai otot-otot kranial maupun anggota gerak dan batang tubuh). 

Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang yang mengakibatkan penutupan rahang (trismus atau lockjaw), serta melibatkan otot otot ekstremitas dan batang tubuh. Di Amerika Serikat, sekitar 15% kasus tetanus adalah penyalahguna obat yang menggunakan suntikan.

Masalah Kesehatan 
Tetanus
No. ICPC-2 : N72 Tetanus 
No. ICD-10 : A35 Other tetanus
Tingkat Kemampuan : 4A




Hasil Anamnesis (Subjective) 
Keluhan 
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus, sampai kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu: 

1. Tetanus lokal 
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum. 

2. Tetanus sefalik 
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek. 

3. Tetanus umum/generalisata 
Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik. 

4. Tetanus neonatorum 
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable, diikuti oleh kekakuan dan spasme. 

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective) 
Pemeriksaan Fisik 
Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. 

  1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap. 
  2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. 
  3. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik. 
  4. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. 

Pemeriksaan Penunjang 
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik.



Penegakan Diagnostik (Assessment) 
Diagnosis Klinis 
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi. 
Tingkat keparahan tetanus: 
Kriteria Pattel Joag 
  • Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang 
  • Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat keparahan 
  • Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari 
  • Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam 
  • Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 400 C), atau aksila 99ºF ( 37,6 ºC ). 
Grading 
  • Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak ada kematian) 
  • Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%) 
  • Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%) 
  • Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%) 
  • Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum (kematian 84%). 
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s : 
1. Grade 1 (ringan) 
Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia. 

2. Grade 2 (sedang) 
Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu.

3. Grade 3 (berat) 
Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus meningkat. 

4. Grade 4 (sangat berat) 
Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kali menyebabkan “autonomic storm”. 

Diagnosis Banding 
Meningoensefalitis, Poliomielitis, Rabies, Lesi orofaringeal, Tonsilitis berat, Peritonitis, Tetani (timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah), keracunan Strychnine, reaksi fenotiazine 

Komplikasi 
  1. Saluran pernapasan Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi. 
  2. Kardiovaskuler Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium. 
  3. Tulang dan otot Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta. 
  4. Komplikasi yang lain Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 
Penatalaksanaan 
1. Manajemen luka 
Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C. tetani harus mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi luka yang rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus dengan kriteria sebagai berikut:

Manajemen Luka Tetanus
Luka rentan tetanus
Luka yang tidak rentan tetanus

> 6-8 jam
< 6 jam

Kedalaman > 1 cm
Superfisial < 1 cm

Terkontaminasi
Bersih

Bentuk stelat, avulsi, atau hancur (irreguler)
Bentuknya linear, tepi tajam

Denervasi, iskemik
Neurovaskular intak

Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)
Tidak infeksi


2. Rekomendasi manajemen luka traumatik 

  • Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen. 
  • Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan. 
  • TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan. 
  • Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIg 

3. Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi. 

4. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya-ruangan redup dan tindakan terhadap penderita. 

5. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-150 gr protein. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral.

6. Oksigen, 
Pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu. 

7. Antikonvulsan 
Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis. Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom. 

8. Anti Tetanus Serum (ATS) 
Anti tetanus serum dapat digunakan, tetapi sebelumnya diperlukan skin tes untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka.

9. Eliminasi bakteri
Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian antibiotik di atas dapat mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi proses neurologisnya. 

10. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas dapat dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin. 
  • Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis. 
  • Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari. 
  • Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam. 
11. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) 
Tetanus Toksoid yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24 jam pertama. 

12. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. 

13. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. 

Konseling dan Edukasi 
Peran keluarga pada pasien dengan risiko terjadinya tetanus adalah memotivasi untuk dilakukan vaksinasi dan penyuntikan ATS. 




Rencana Tindak Lanjut 
  1. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Pengulangan dilakukan 8 minggu kemudian dengan dosis yang sama dengan dosis inisial. 
  2. Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian. 
  3. Subsequent booster, diberikan 5 tahun berikutnya. 
  4. Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan setempat. 
Kriteria Rujukan 
  1. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama. 
  2. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan. 
  3. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis neurologi.
Peralatan 
  1. Sarana pemeriksaan neurologis 
  2. Oksigen 
  3. Infus set 
  4. Obat antikonvulsan
Prognosis Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik. Tetanus biasanya tidak terjadi berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C. tetani.

Referensi 
  1. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam Infeksi pada sistem saraf. Perdossi. 2012. (Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012) 
  2. Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1799-1806. (Sudoyo, et al., 2006) 
  3. Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika, S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam: Garna, H. Melinda, H. Rahayuningsih, S.E. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.Ed3. Bandung: FKUP/RSHS. 2005; 209-213. (Azhali, et al., 2005) 
  4. Rauscher, L.A. Tetanus. Dalam:Swash, M. Oxbury, J.Eds. Clinical Neurology. Edinburg: Churchill Livingstone. 1991; 865-871. (Rauscher, 1991) 
  5. Behrman, R.E.Kliegman, R.M.Jenson, H.B. Nelson Textbook of Pediatrics. Vol 1. 17thEd. W.B. Saunders Company. 2004. (Behrman, et al., 2004) 
  6. Poowo, S.S.S. Garna, H. Hadinegoro. Sri Rejeki, S.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis. Ed 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (Poowo, et al., t.thn.)
  7. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus: progress to date. Bull: WHO. 1994; 72: 155-157. (World Health Organization, 1994)
  8. Aminoff MJ, So YT. Effects of Toxins and Physical Agents on the Nervous System. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1369-1370. (Aminoff & So, 2012)

Popular posts from this blog

Vulnus / Muskuloskeletal

Kulit merupakan bagian tubuh yang paling luar yang berguna melindungi diri dari trauma luar serta masuknya benda asing. Apabila kulit terkena trauma, maka dapat menyebabkan luka/vulnus. Luka tersebut dapat merusak jaringan, sehingga terganggunya fungsi tubuh serta dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan, dapat ditimbulkan oleh berbagai macam akibat yaitu trauma, meliputi luka robek (laserasi), luka akibat gesekan (abrasi), luka akibat tarikan (avulsi), luka tembus (penetrasi), gigitan, luka bakar, dan pembedahan. Masalah Kesehatan Vulnus No. ICPC-2 : S.16 Bruise / Contusion S.17 Abration / Scratch / Blister S.18 Laceration / Cut No. ICD-10 : T14.1 Open wound of unspecified body region Tingkat Kemampuan: a. Vulnus laceratum, punctum : 4A b. Vulnus perforatum, penetratum : 3B Etiologi  Berdasarkan mekanisme trauma, terdiri dari : Trauma tajam yang menimbulkan luka terbuka, misalnya : 1. Vulnus Punctum (Luka Tusuk)  Pen...

Reaksi Gigitan Serangga / Penyakit Kulit / Insect Bite

Reaksi gigitan serangga (insect bite reaction) adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi pada kulit akibat gigitan (bukan terhadap sengatan/stings) dan kontak dengan serangga. Gigitan hewan serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat, bugs, dan kutu, yang dapat menimbulkan reaksi peradangan yang bersifat lokal sampai sistemik. Masalah Kesehatan Reaksi Gigitan Serangga No. ICPC-2 : S12 Insect bite/sting No. ICD-10 : T63.4 Venom of other arthropods Tingkat Kemampuan : 4A Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan gatal, rasa tidak nyaman, nyeri, kemerahan, nyeri tekan, hangat atau bengkak pada daerah tubuh yang digigit, umumnya tidak tertutup pakaian. Kebanyakan penderita datang sesaat setelah merasa digigit serangga, namun ada pula yang datang dengan delayed reaction, misalnya 10-14 hari setelah gigitan berlangsung. Keluhan kadang-kadang diikuti dengan reaksi sistemik gatal seluruh tubuh, urtikaria, dan angioedema, serta dapat berkembang me...

Syok hipovolemik, obstruktif, kardiogenik dan distributif

Syok merupakan salah satu sindroma kegawatan yang memerlukan penanganan intensif dan agresif. Syok adalah suatu sindroma multifaktorial yang menuju hipoperfusi jaringan lokal atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel dan disfungsi multipel organ. Kegagalan perfusi jaringan dan hantaran nutrisi dan oksigen sistemik yang tidak adekuat tak mampu memenuhi kebutuhan metabolisme sel.  Karakteristik kondisi ini, yaitu:  ketergantungan suplai oksigen,  kekurangan oksigen,  Asidosis jaringan sehingga terjadi metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi organ vital dan kematian.  Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, penyebab dan karakteristik pola hemodinamik yang ditimbulkan, yaitu:  Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh hilangnya sirkulasi volume intravaskuler sebesar >20-25% sebagai akibat dari perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan cairan pada ruang ketiga atau akibat sekunder dilata...

Veruka Vulgaris / Kutil / Penyakit Kulit

Kutil / Veruka vulgaris merupakan hiperplasia epidermis yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu. Sinonim penyakit ini adalah kutil atau common wart. Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Veruka ini sering dijumpai pada anak-anak dan remaja. Masalah Kesehatan Veruka Vulgaris No. ICPC-2 : S03 Warts No. ICD-10 : B07 Viral warts Tingkat Kemampuan : 4A Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Adanya kutil pada kulit dan mukosa. Faktor Risiko 1. Biasanya terjadi pada anak-anak dan orang dewasa sehat. 2. Pekerjaan yang berhubungan dengan daging mentah. 3. Imunodefisiensi. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda Patognomonis Papul berwarna kulit sampai keabuan dengan permukaan verukosa. Papul ini dapat dijumpai pada kulit, mukosa dan kuku. Apabila permukaannya rata, disebut dengan veruka Plana. Dengan goresan dapat timbul autoinokulasi sepanjang goresan (fenomena Koebn...

Benda asing di mata / Konjungtiva / Penyakit Mata

Benda asing di konjungtiva adalah benda yang dalam keadaan normal tidak dijumpai di konjungtiva dan dapat menyebabkan iritasi jaringan. Pada umumnya kelainan ini bersifat ringan, namun pada beberapa keadaan dapat berakibat serius terutama pada benda asing yang bersifat asam atau basa dan bila timbul infeksi sekunder. Masalah Kesehatan Benda asing di konjungtiva No. ICPC-2 : F76 Foreign body in eye No. ICD-10 : T15.9 Foreign body on external eye, part unspecified Tingkat Kemampuan : 4A Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk ke dalam konjungtiva atau matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, mata merah dan berair, sensasi benda asing, dan fotofobia. Faktor Risiko Pekerja di bidang industri yang tidak memakai kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa). Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) ...